Jumat, 15 April 2011

MENYISIR KAMPUNG NELAYAN ISLAM TAPIL SUMBA TIMUR NTT

Tapil memang tidak setenar tempat lain di Sumba Timur. Tapil hanya merupakan sebuah perkampungan nelayan di pesisir pantai Rindi. Lahirnya perkampungan ini atas budi baik Raja Praiawang Rende, Umbu Rara Lunggi. Hanya karena ikatan persahabatn yang begitu erat dengan Umar Tata Nabasiah (Haji Bugis), saudagar asal Bugis-Mandar, Sulawesi Selatan, yang saat itu menikah dengan perempuan bangsawan Sumba bernama Rambu Kahi, Raja Rende, Umbu Rara Lunggi menyerahkan sebagian tanah yang menjadi wilayah kekuasaannya di pesisir pantai Rindi kepada Raja Bugis pada tanggal 23 Mei 1924.

Haider Arsit, keturunan ketiga dari Umar Tata atau Raja Bugis, menuturkan, dari perkawinannya dengan prempuan Sumba, Umar Tata atau yang dikenal dengan nama Haji Bugis lahir lima orang anak, satu diantaranya lelaki bernama Abdullah. Abdullah ini lah yang menempati Kampung Tapil sedangkan empat saudara perempuannya memilih menetap di Melolo. Abdullah memiliki empat orang teman, masing-masing Usman, Rahi Sumba, Umbu Djawa Tanya dan Baso Daeng Nggiling. Bersama empat temannya, Abdullah yang saat itu menikah dengan perempuan Sumba keturunan Sabu bernama Tali Ngahu, membangun Tapil menjadi sebuah perkampungan Islam yang sangat religius.
Dari perkawainannya dengan perempuan Sumba asal Sabu itu, Abdullah dikaruniai lima orang anak, satu perempuan dan empat orang laki-laki. Keturunan Abdullah inilah yang saat ini mendiami Tapil. Dari catatan pemerintahan desa setempat, saat ini di perkampungan tersebut didiami 42 KK dengan 203 jiwa. Mereka ada yang keturunan asli Umar Tata atau Raja Bugis, ada juga para mualaf (orang yang baru masuk Islam), baik karena perkawinan atau karena keinginan sendiri.
Seiring dengan perkembangannya menjadi sebuah perkampungan Islam, maka tahun 1982, di masa kepemimpinan Bupati Sumba Timur, Lapoemoekoe, didirikan sebuah Masjid di Kampung tersebut yang diberi nama Masjid Al Ikhlas Tapil. Masjid tersebut baru direhab lagi pada tahun 2007 lalu.
Selain suasana kampung yang cukup religius, Tapil menyimpan potensi lain yang luar biasa. Seperti daerah pesisir lainnya. Masyarakat Tapil hidup mencari nafkah di laut sebagai nelayan selain dari kelapa sebagai cadangan. Tapil dikenal karena makanan lautnya lezat. Jika Anda termasuk orang yang baru pertama berkunjung ke tempat ini, anda pasti betah.
Selain panorama alamnya yang indah dengan pasir putih, pantai ini bisa menjadi pilihan alternatif bagi keluarga untuk menyaksikan indahnya matahari tenggelam di sore hari. Yang lebih menarik lagi makanan lautnya, terutama kepiting. Cara memasaknya sederhana dengan bumbu santan. Tapi rasanya luar biasa lezat karena kondisi ikan atau kepiting yang masih segar tanpa pengawet dan tanpa es. Di sini, para pengunjung juga dimanjakan dengan makanan laut lainnya seperti siput dan kerang.
Para pengunjung juga bisa mencari sendiri kerang atau siput karena dua binatang laut ini cukup banyak di pantai Tapil. Ditambah lagi air kelapa muda segar yang baru dipetik langsung dari pohonnya.
Kita semakin dimanjakan berada di tempat ini , karena masyarakatnya cukup ramah. Cuma satu hal yang menjadi keprihatinan masyarakat Tapil adalah krisis air tawar. Mereka harus berjalan sekitar satu mil untuk mendapatkan air tawar. Dengan jarak yang cukup jauh, air tawar hanya dipakai untuk minum. Sedangkan mandi dan cuci masyarakat terpaksa menggunakan air payau. Penasaran dengan lezatnya aneka masakan makanan laut Tapil, silakan berkunjung ke tempat ini.

PELAJARAN NASIHAT DAN PENCERAHAN

Pada suatu hari sahabat Abu Darda melihat sekelompok orang ramai-ramai sedang memukuli dan memaki-maki seseorang. Abu Darda kaget seraya bertanya, ''Kenapa dengan orang itu?'' Jawab mereka, ''Ia penjahat dan pendosa besar, Tuan.'' Lalu, Abu Darda bertanya lagi, ''Kalau ia jatuh ke dalam sumur, apa yang akan kalian lakukan?'' Jawab mereka, ''Kami akan mengeluarkannya tuan.''

Mendengar jawaban mereka itu, Abu Darda berpesan. Katanya, ''Kalau begitu, jangan siksa dia, tapi berikan kepadanya pelajaran, nasihat, dan pencerahan.'' Rupanya, mereka mengikuti pesan Abu Darda. Mereka semua berhenti memukuli dan memaki sang penjahat dan pendosa itu. Yang terakhir inipun menangis tersedu-sedu, menyatakan tobat dan menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukannya.

Dari peristiwa ini, kita mendapat pelajaran berharga tentang metode dan pendekatan dakwah (manhaj al-da`wah). Paling tidak, ada tiga hal pokok yang bisa dipahami dari manhaj al-da`wah Abu Darda. Pertama, dakwah hendaknya dilakukan dengan kearifan (bi al-hikmah).

Kata hikmah memiliki makna dasar al-man`u, yaitu tercegah dari keburukan. Hikmah juga bermakna pemikiran mendalam, tepat, benar, atau mencapai kebenaran melalui ilmu dan amal. Menurut Sayyid Quthub, dakwah dengan hikmah bermakna dakwah dengan tingkat ketepatan yang tinggi dilihat dari segi materi, metode, dan waktu yang dipergunakan, sehingga kemungkinan dan peluang keberhasilannya menjadi besar.

Kedua, mencegah kemungkaran tidak boleh dengan kemungkaran pula, tetapi harus dengan kebaikan, melalui nasihat yang baik dan melalui dialog yang terbaik. Hal ini, karena Islam mengajarkan agar keburukan tak dilawan dengan keburukan serupa, tapi dengah kebaikan.

Firman-Nya, ''Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara Dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia (QS Fushshilat [41]: 34).

Ketiga, para dai selain memerhatikan proses harus pula peduli pada pengaruh dakwah. Dalam realitas dakwah, aspek yang satu ini sering diabaikan. Banyak orang, kalau sudah naik mimbar, memberi orasi. Mereka merasa telah selesai melaksanakan tugas dakwah, tanpa perlu tahu apakah dakwah yang disampaikan didengar dan diterima oleh khalayak atau tidak?

Dakwah dinilai efektif manakala khalayak memahami pesan dakwah yang disampaikan, lalu daya tarik (rasa cinta), dan puncaknya perubahan sikap dan prilaku mereka seperti dakwah sahabat Abu Darda dalam kisah di atas.

GAIRAH ISLAM KOTA ATAMBUA NTT

Terbentuknya Kajian Salaf di Kota Atambua - NTT, bermula dari keberadaan Al Akh Luqman Abu Royyan, sekembalinya beliau dari menuntut ilmu di Yogya, yang pada akhir tahun 2006 kemudian kembali ke kampung halamannya dan memperkenalkan dakwah salafiyah ini ke beberapa ikhwan yang memiliki ketertarikan untuk berjalan di atas manhaj yang haq. Berhubung kondisi serta sarana dan prasarana yang belum memadai – disamping jadwal kerja yang cukup padat dari sebagian ikhwan salafiyyin yang mayoritas adalah pegawai pemerintah— sehingga dakwah ini belum dapat berjalan dengan lancar. Sebagian waktu yang lowong di sela-sela kesibukan, kami gunakan untuk diskusi masalah agama dan ta’lim bahasa Arab oleh ikhwan yang memiliki kemampuan.

Karena terkendala dengan tidak adanya du’at salafiyyin di kota kami, padahal gairah menuntut ilmu dari ikhwah Atambua yang cukup tinggi, maka terbersit ide dari kami untuk mengadakan kajian via phone (kajian melalui sambungan handphone). Dengan berbekal pengalaman Al Akh Luqman yang cukup kenal dengan sejumlah ikhwan dan asatidzah salafiyyin di Jawa dan di beberapa daerah lainnya, maka Alhamdulillah ide ini pun dapat terlaksana.

Kajian via phone bukan tanpa kendala. Banyak rintangan yang menghadang, termasuk dari sejumlah masyarakat yang tidak senang dengan dakwah ini. Alhamdulillah, Allah Azza Wa Jalla masih memberikan jalan bagi kami untuk menegakkan sunnah di daerah kami yang minoritas muslim ini. Meski Ta’lim/ Kajian hanya dapat dilakukan seadanya dengan via phone karena terkendala jarak yang jauh, namun kenikmatan menuntut ilmu akhirnya dapat terpenuhi. Kajian yang pada awalnya hanya diikuti oleh segelintir ikhwah, kini perlahan-lahan masyarakat awam pun mulai tertarik dan mengenal dakwah ini.

Semoga Allah berkenan untuk menjaga kami agar tetap istoqomah dan ikhlas dalam menuntut ilmu, terutama lagi kami berharap agar suatu saat nanti ada ustadz yang mau berkenan untuk datang langsung ke daerah kami dalam rangka menyebarkan dakwah, sehingga kami dapat duduk langsung berhadapan, untuk mengambil faedah di halaqah-halaqah ilmu

KOMUNITAS ISLAM DI FLORES TIMUR NTT

Kondisi masyarakat / komunitas Islam di Flores Timur
I. Masyarakat Islam asli Flores
Latar belakang mereka sama-sama penduduk bumiputra yang mula-mula menganut ‘agama asli’ atau meminjam istilah Bung Karno ‘orang kafir’. Dalam buku sejarah, agama asli biasa disebut animisme-dinamisme. Ketika datang agama baru, entah Katolik atau Islam, penduduk mulai konversi alias pindah agama. Agama asli identik dengan kekolotan atau primitivisme karena terkait erat dengan dukun-dukun serta kepercayaan alam gaib yang sulit berterima di alam moderen.

Karena sama-sama asli Lembata, Adonara, Solor, Flores Timur daratan, jemaat Islam ini benar-benar menyatu dengan umat Katolik atau penganut agama asli. Sama-sama diikat oleh adat, budaya, serta keturunan yang sama. Kalau diusut-usut, golongan ini punya hubungan darah yang sangat erat.

Fam atau marga saya, Hurek Making, misalnya, banyak yang menganut Islam. Bapak Muhammad Kotak Hurek bahkan jadi takmir Masjid Nurul Jannah di kampung. Muhammad Anshar Paokuma, keluarga dekat dari pihak ibu saya, malah imam masjid tersebut. Hubungan persaudaraan erat luar biasa.

Bedanya: umat Islam tidak makan daging babi dan anjing, sementara saudara-saudaranya non-Islam sangat doyan. Kalau ada pesta, saudara-saudara muslim ini ‘wajib’ menyiapkan daging khusus untuk kaum muslim, mulai dari menyembelih kambing, memasak, hingga siap saji di meja makan. Tradisi lokal ini untuk menjaga agar makanan itu terjamin kehalalannya.

Pak Hamid, juga masih kerabat saya, dikenal sebagai tukang jagal kambing dan sapi paling top. Begitu tahu bahwa daging kambing itu disembelih oleh Pak Hamid, saudara-saudara muslim itu pun menyantap dengan nikmat.

II. Masyarakat Islam pesisir
Mereka ini campuran antara pendatang dan penduduk asli yang sudah bercampur-baur secara turun-temurun. Disebut pesisir–ini istilah saya saja–karena tinggalnya di pesisir, bekerja sebagai nelayan ulung. Selain itu, mereka pedagang ‘papalele’ hingga pedagang besar.

Mereka ini menganut Islam berkat dakwah para pedagang atau pelaut Sulawesi, Sumatera, Jawa, Sumbawa. Ada juga nelayan Sulawesi yang akhirnya menetap di Flores karena kerap bertualang di laut. Ada tanah kosong di pinggir laut, lantas mereka mendirikan rumah di situ. Akhirnya, muncul banyak kampung-kampung khusus Islam di beberapa pesisir Flores Timur.

Berbeda dengan Islam jenis pertama (asli Flores), golongan kedua ini benar-benar pelaut sejati. Di beberapa tempat, rumah mereka bahkan dibuat di atas laut. Karena tak punya tanah, namanya juga pendatang, mereka tidak bisa bertani. Kerjanya hanya mengandalkan hasil laut, tangkap ikan, serta berdagang.

Maka, komunitas Islam pesisir ini sangat solid dan homogen di pesisir. Kampung Lamahala di Adonara Timur dan Lamakera di Solor Timur merupakan contoh kampung Islam pesisir khas Flores Timur. Di Kampung Baru serta sebagian Postoh (Kota Larantuka) pun ada kampung khusus Islam pesisir.

Mereka ini menggunakan bahasa daerah Flores Timur, namanya Bahasa LAMAHOLOT, dengan dialek sangat khas. Perempuannya cantik-cantik, rambut lurus… karena itu tadi, nenek moyangnya dari Sulawesi, Sumatera, Jawa. Tapi ada juga yang agak hitam, sedikit keriting, karena menikah dengan penduduk asli yang masuk Islam.

Karena tinggal di pantai (bahasa daerahnya: WATAN), di Flores Timur umat Islam disebut WATANEN alias orang pantai. Sebaliknya, orang Katolik disebut KIWANEN, dari kata KIWAN alias gunung. WATANEN mencari ikan, KIWANEN bertani, hasilnya bisa barter untuk mencukupi kebutuhan orang Flores Timur. Jadi, kedua kelompok ini, WATANEN-KIWANEN tak bisa dipisahkan meskipun berbeda agama.

Oh, ya, karena tak bisa bertani (wong, nggak punya tanah), mereka tumbuh sebagai pedagang-pedagang yang tekun dan berhasil. Saya bisa pastikan, pasar-pasar Inpres di Flores Timur hampir dikuasai secara mutlak oleh muslim pesisir. Mereka juga punya banyak armada kapal laut antarpulau yang menghubungkan pulau-pulau di Flores Timur, Nusatenggara Timur, bahkan Indonesia.

Saat berada di Jawa, saya senang dengan teman-teman Islam pesisir, khususnya Lamahala, kalau diminta main bola memperkuat tim mahasiswa Flores Timur. Militansinya tinggi, nekat, pantang menyerah… dan sedikit ‘nakal’. Saking getol membela Flores Timur, teman-teman muslim ini tak segan-segan berkelahi manakala dicurangi wasit atau pemain lawan.

Pemain-pemain bola muslim Flores ini juga sejak dulu menjadi andalan PS Flores Timur, khususnya penjaga gawang. “Mungkin karena sering menangkap ikan, jadi pandai menangkap bola juga,” begitu saya menggoda Taslim Atanggae, teman asal Lamahala, yang jago kiper.

“Jangan lupa main-main ke rumah ya? Biar saya bisa omong bahasa daerah dengan kamu. Di sini semuanya orang Jawa,” kata Ahmad Wahab, asli Lamahala, yang kini tinggal di pelosok Sukodono, Kabupaten Sidoarjo.

Orang Lamahala memang bangga dengan bahasa daerahnya, Lamaholot, dengan dialek khas dan keras. Teman-teman muslim pesisir yang sangat taat beragama ini selalu membuat saya, orang KIWAN alias Katolik, bahagia.
Berbeda dengan komunitas pertama dan kedua, komunitas ketiga ini pendatang baru dalam arti sebenarnya. Mereka datang, bekerja, dan menetap di Flores Timur, menyusul gerakan transmigrasi pada era 1970-an, 1980-an… sampai sekarang. Ada juga yang pegawai negeri sipil, pegawai swasta, profesional yang bekerja di Flores.

Mereka tak punya kampung seperti muslim asli dan muslim pesisir. Kampungnya ya di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan seterusnya. Kalau Lebaran, mereka ramai-ramai pulang ke kampung untuk silaturahmi dengan keluarganya. Sebaliknya, orang Islam jenis satu dan dua ramai-ramai pulang ke Flores Timur karena orang tua, keluarga besar, memang di Flores Timur.

Komunitas ketiga ini juga tak bisa berbahasa daerah seperti orang Lamahala atau Lamakera. Bahasanya, ya, bahasa Jawa, bahasa Betawi, bahasa Padang, dan seterusnya. Komunikasi dengan penduduk lokal, tentu saja, dengan bahasa Indonesia. “Terima kasih untuk bahasa Indonesia,” mengutip pujangga favorit saya, Pramoedya Ananta Tour.

Namun, berbeda dengan Islam pesisir (WATANEN) yang hanya tinggal di kampung-kampung khusus Islam, muslim pendatang baru ini sangat fleksibel. Mereka bisa tinggal di mana saja: kampung Islam, kampung Katolik, pantai, pegunungan, pelosok, kota. Luar biasa luwes!

Dokter Puskesmas (PTT), guru-guru SMA/SMP negeri, tentara, polisi, asal Jawa dikenal sebagai muslim pendatang yang sangat luwes. Saking luwesnya, kerap kali mereka kecantol dengan gadis lokal (Flores Timur, non-Islam) lalu menikah. Pernikahan semacam ini hampir ‘mustahil’ dilakukan oleh komunitas muslim pesisir alias jenis kedua.

Teman-teman Islam jenis ketiga (muslim pendatang baru), bagi saya, punya nilai tersendiri bagi kami di Flores Timur. Kenapa? Mereka membuktikan bahwa masyarakat itu bisa tinggal berbaur di mana saja, bertetangga dengan siapa saja, apa pun agamanya. Segregasi alias pemisahan permukiman penduduk atas dasar agama berhasil ‘diterobos’ oleh muslim pendatang baru.

III. Masyarakat Islam pendatang baru
Nah, komunitas Islam pendatang baru ini mirip Islam jenis pertama, hanya saja tak punya kampung di Flores Timur.

Zaman makin maju. Orang Flores merantau ke mana-mana. Sehingga, tentu saja, komposisi masyarakat akan terus berubah, termasuk tiga jenis Islam ala Flores Timur ini.

GANTI PAKAIAN MENUJU JALAN YANG LURUS

Dalam kehidupan ini kita akan memilih. Kita memilih kebahagian di dunia atau memilih kebahagiaan di akhirat? Atau kita memilih keduanya, seperti dalam doa yang selalu kita ucapkan : “ Ya Rabb anugerahilah aku kehidupan di dunia yang bahagia, dan kehidupan di akhirat yang mulia”. Inilah jalan para anbiya’ (nabi), khulafaur rasyididn, dan para generasi shalaf, yang senantiasa mencintai Rabbnya, dan tidak pernah berpaling selama-lamanya dari-Nya. Generasi ini yang terus menapaki kehidupan dengan segala amal kebaikan.

Mereka senantiasa menolak dengan tegas perbuatan yang bathil dan fasad, yang dapat menjerumuskan diri mereka kedalam bencana. Ghirahnya (kecemburuannya) terus menyala-nyala, tak pernah padam, selalu marah ketika melihat segala penyimpangan, penolakan manusia atas segala ajaran-Nya, dan tidak pernah mau menerima segala bentuk kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan. Karena, sifat-sifat itu, tak layak dimiliki oleh orang-orang yang senantiasa bertaqwa kepada Rabbnya. Sifat-sifat itu yang sangat dibenci oleh Allah Azza Wa Jalla.

Tapi, kita memasuki kehidupan modern, yang penuh dengan tarikan dunia, yang senantiasa menggoada manusia menjadi lalai. Manusia tidak ingat akan datangnya kematian. Kehidupannya terus disibukkan dengan berbagai ambisi dan angan-angan, yang tak pernah habis-habis. Sampai datangnya hari tua, dan kematian merenggutnya. Adakah penyesalan? Segalanya menjadi terlambat. Segala penyesalan tak ada gunanya.

Seperti halnya, Fir’aun, yang saat ditenggelamkan di laut Merah, baru menyadari kemahakuasaan Allah Rabbul Jallal. Apakah sifat dan sikap manusia seperti itu? Datangnya kesadaran selalu terlambat. Datangnya penyesalan selalu terlambat. Ketika manusia sudah memasuki kehidupan di akhirat, dan masing-masing harus mempertanggungjawabkan kehadapan sang Khaliq, selalu mereka mengatakan, ketika di dunia belum mendapatkan keterangan tentang hakikat al-haq.

Bagaimana nasib manusia hari ini yang senantiasa menggantungkan hidupnya kepada materi? Ketika krisis datang dan menghampiri mereka, maka mereka banyak yang merasa kehilangan keseimbangan, merasakan kehampaan, dan kehilangan motivasi, serta semangat hidup. Kesalahan yang mendasar manusia modern adalah menjadikan benda sebagai sesembahan, dan makhluk sebagai sesembahan.

Kehidupan modern sekarang ini, tak ubahnya seperti ketika kehidupan di masa lalu, pada masa Nabi Ibrahim alaihis salam, mereka menyembah patung-patung, benda, matahari, rembulan, dan sesama manusia, yang mereka kira dapat memberikan manfaat bagi kehidupan mereka. Sama antara jahiliyah di masa lalu dengan kehidupan di zaman sekarang. Mungkin hanya suasananya yang berbeda.

Manusia modern yang sangat berkecenderungan pada kehidupan materialisme, hanya menghabiskan seluruh waktu dan umurnya, mengumpulkan materi dengan bekerja. Waktunya, dari pagi hingga malam, hanya digunakan bekerja. Tujuannya mendapat materi. Lalu, mereka bersenang-senang, mengunjungi tempat-tempat hiburan, cape, hotel, tempat wisata, dan segala yang berbau ‘luxury’, yang dapat memberikan kenikmatan bagi kehidupan mereka.

Manusia betul-betul sebagai pemuja kenikmatan. Kenikmatan kehidupan di dunia, yang sengaja mereka ciptakan sendiri. Seakan mereka berkekalan atas segala kehidupan di dunia, yang tak pernah bakal berakhir. Mereka adalah orang-orang yang memanipulasi kehidupannya sendiri, membodohi kehidupan sendiri, dan akhirnya mereka menjadi korban dari pilihan hidup mereka sendiri. Mereka mengejar fatamorgana, yang mereka sangka sebagai kehidupan yang nyata.

Ketamakan manusia modern dalam menggunakan materi, dipertontonkan dengan telanjang oleh masyarakat Barat. Mereka menghabiskan sumber daya alam dari negara-negara Dunia Ketiga, yang sengaja diekploitasi habis-habisan, harta benda mereka dikeruk di bawa ke Barat, dan mereka menikmati. Mereka membiarkan kehidupan yang sangat menyakitkan bagi rakyat di Dunia Ketiga, yang miskin papa, dan tidak memiliki apa. Bahkan, masyarakat Barat, sengaja melanggengkan kemiskinan dan ketidak adilan, dan hancurnya sendi-sendi kehidpan di dalam masyarakat. Semua itu, tak lain adalah akibat orientasi masyarakat modern yang sangat menuhankan materi.

Seperti dikatakan oleh Sayid Qutb rahimahumullah,yang mengatakan masyarakat modern, nantinya akan menghadapi kehancuran dari akibat budaya jahiliyah yang mereka bangun. Ibn Taimiyah berpendapat, ‘Sebuah negeri dikatakan sebagai daarul kufri, daarul iman atau daaru fasik, bukan karena hakikat yang ada pada negeri itu, tetapi karena sifat para penduduknya’. Maka, bagaimana kehidupan masyarakat itu, yang akan menentukan status sebuah negeri. Apakah negeri itu daarul kufri atau daarul iman? Kalau kehidupan jahiliyah yang mendominasi kehidupan mereka, maka layak sebuah negeri mendapatkan status sebagai : ‘daarul kufri’, meskipun penduduknya sebagian besar adalah muslim.

Marilah kita tinggalkan kehidupan jahiliyah yang penuh dengan dosa dan maksiat, dan kita gantikan dengan kehidupan yang lebih menuju jalan yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Mari kita masuki tahun 1431 hijriyah ini dengan memperbaharui tekad dan niat menuju jalan yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala, jalan Islam. Wallahu ‘alam.

KERAJAAN ISLAM SOLOR

Saat ini, wilayah kepulauan Solor yang terdiri atas Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pantar, Alor dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, lebih dipengaruhi oleh kebudayaan Katolik. Tetapi siapa kira, kalau kawasan yang meliputi tiga Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, pernah mendapat pengaruh kuat dari beberapa kerajaan Islam di Maluku, Jawa dan Sulawesi sejak abad ke-15.

Seorang sosiolog dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Drs. Syarifuddin Gomang, MHons, dalam sebuah tulisannya, menghubungkan perkembangan di gugusan kepulauan itu dengan perkembangan salah satu kerajaan Islam di timur yakni Ternate. Tersebutlah, pengganti Sultan Baabullah yang membalas kematian ayahnya Sultan Hairun, yang dibunuh Portugis, dengan mengepung Portugis dalam benteng di Ternate dan mengambil alih benteng pada tahun 1574.

Dalam puncak kejayaan itulah, Sultan Baabullah mendapat pengakuan kedaulatan dari masyarakat di 72 pulau, termasuk Kepulauan Solor. Dari dokumen Portugis, Gomang mengungkapkan, Sultan Baabullah mengutus keponakannya bernama Kaichili Ulan ke Pulau Buru di Maluku, merekrut orang-orang dan mempersiapkan perahu untuk penyerangan ke Lohayong, sebuah basis pertahanan Portugis di Pulau Solor. Rencana serangan itu, atas permintaan bantuan dari Solor untuk menyerang orang Portugis di Benteng Lohayong.

Dalam pelayaran Kaichili Ulan ke Solor tersebut, ikut pula banyak bangsawan Ternate dan pengikut mereka yang kemudian menetap di beberapa pulau di NTT. Di antara mereka terkenal nama Sultan Syarif Sahar dan isterinya, Syarifah, yang menetap di Pulau Solor dan nantinya memimpin orang Solor bertempur melawan Portugis, setelah bersekutu dengan VOC atau kongsi dagang Belanda yang bersaing dengan Portugis.

Tokoh ini, kemudian ikut pindah ke Kupang di Pulau Timor, ketika VOC memindahkan pusat kedudukan dari Solor ke Kupang pada tahun 1657. Di Kupang, Sultan Syarif lebih dikenal dengan nama Atu Laganama dan menjadi penyebar agama Islam pertama di sekitar Batu Besi, Kupang. Diduga, kedatangan Atu Laganama ini menandai migrasi pertama orang Islam Solor ke Kupang, sehingga sampai kini di ibukota Provinsi NTT itu, masih ada Kelurahan Solor.

Sebagian dari pasukan Kaichili Ulan, tidak hanya menetap di Pulau Solor, tetapi juga pulau-pulau lain mulai dari Flores Timur sampai ke Kabupaten Alor. Karena itu, di Alor terdapat sebuah pulau bernama Pulau Ternate, sementara mereka yang menetap di Flores Timur antara lain dari klen Gogo, Likur dan Maloko. Bahkan, seorang ulama dari Ternate bernama Usman Barkat, menjadi tokoh penyebar agama Islam.

Di Blang Merang, Alor, pun sudah ada kampung Maluku pada abad ke-15, yang dihuni penduduk beragama Islam. Pada abad ke-17, gugusan kepulauan Solor dikabarkan resmi menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate yang berubah menjadi kerajaan Islam pada tahun 1683.

Kerajaan Islam

Penelitian lain yang dilakukan dosen Undana, Drs. Munandjar Widyatmika menyebut, pada tahun 1680 Lohayong di Solor merupakan sebuah kerajaan Islam yang memiliki supremasi terhadap kerajaan Islam lainnya. Saat itu, Lohayong di Solor diperintah oleh seorang ratu bernama, Nyai Chili Muda, yang pada tahun 1663 mengirim surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, memohon agak dikirimkan gading berukuran besar yang dijadikan bantal di kala ia wafat nanti.

Ia juga menyebut, Kedang sebuah wilayah di timur Pulau Lembata merupakan bagian dari Kerajaan Ternate, semetara di selatan Pulau Lembata juga terdapat sebuah kerajaan Islam yakni Lebala dengan raja terakhir Ibrahim Baha Manyeli.

Sementara Solor telah diduduki VOC sejak tahun 1646, tetapi Sultan Ternate baru resmi menyerahkan kepada Solor pada tahun 1683. Pada saat yang sama, di Kalikur Kedang, Lembata terdapay klen Honi Ero yang berasal dari Seram, sedangkan raja Adonara di Pulau Adonara, masih keturunan dari Ternate.

Bahkan, Gomang dan Widyatmika menyebut, tidak diketahui pasti, siapa pendiri kerajaan Lohayong Islam di Solor, yang jelas pada masa Kerajaan Majapahit memperluas wilayah kekuasaan dalam kerangka persatuan Nusantara sejak tahun 1357 dengan menaklukkan Dompo di Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah Laksamana Nala.

Kemudian Lohayong Solor yang strategis dijadikan salah satu pusat kedudukan pasukan Majapahit. Karena letaknya yang strategis, Lohayong di bawah pengaruh pedagang Islam dari Jawa dan Sulawesi, diduga pada waktu itu agama Islam telah berkembang di Lohayong Solor. Gomang dan Widyatmika menyebut tiga pilar kekuatan Islam pasca keruntuhan Majapahit, yakni Gresik, Gowa dan Ternate.

Gresik disebut-sebut telah mempunyai pengaruh di Solor, sebelum militer Portugis membangun benteng pada tahun 1566. Pelabuhan Solor dijadikan transit bagi perdagangan kayu cendana sebelum dijual ke Cina dan India.

Demikian pula Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, telah menjadi kerajaan Islam tahun 1605, di mana raja beserta perdana menteri pada tahun 1626 melakukan ekspedisi ke timur, termasuk ke Solor dan Timor.

Dari rangkaian pengaruh Islam dari Jawa, Sulawesi dan Ternate Maluku tersebut, hingga kini beberapa perkampungan di lima pantai di Solor, Adonara dan Lembata atau lebih dikenal dengan “Solor Watan Lema” dikenal sebagai perkampungan muslim hingga kini. Kelima kampung itu adalah, Lohayong dan Lamakera di Solor, Lamahala dan Terong di Adonara dan Lebala di Lembata.

Dari tempat-tempat itulah, Islam tersebar ke berbagai tempat terutama di pedalaman Solor, Adonara dan Lembata, namun umumnya di Kepulauan Solor, umat Islam umumnya menempati daerah pesisir mulai dari Pulau Solor, Adonara, Lembata, Pantar, Alor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dan menjadikan kawasan itu salah satu daerah muslim di Nusa Tenggara Timur (NTT).

PERADABAN ISLAM DI MAUMERE KAB.SIKKA NTT

Kabupaten Sikka memang identik dengan peradaban Katolik. Namun, kehadiran Agama Islam di Sikka memiliki catatan sejarah tersendiri. Berawal dari perang di Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan dan meletusnya Gunung Tambora di Bima NTB, Agama Islam pun lahir di Maumere dan berkembang hingga saat ini.

Sesuai catatan sejarah, Agama Islam di Kabupaten Sikka resmi lahir abad ke-17 atau pada tahun 1775. Yang membawa ajaran Agama Islam adalah pelaut dari Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan. "Awalnya pelaut dari Gowa itu hanya singgah untuk memperbaiki kapal dan mengisi air bersih mulai tahun 1775," kata tokoh Islam di Kabupaten Sikka yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cabang Sikka Abdul Rasyid Wahab di Maumere. Abdul Rasyid Wahab adalah salah satu pelaku sejarah perkembangan peradaban Islam pertama di Kabupaten Sikka.

Pelaut dari Kerajaan Gowa Sulawesi Selatan ini baru menetap pada tahun 1800-an ketika terjadi perang di kerajaan yang berpengaruh di Sulawesi tersebut. Saat itu, pelaut dari Gowa berlayar ke selatan dan berlabuh di teluk Maumere, sekarang Pelabuhan Sadang Bui Maumere. "Tempat itu awalnya diberi nama Kampung Makassar," kata Abdul Rasyid.

Perkembangan Agama Islam saat itu terbantu dengan kerjasama yang dibangun pelaut dari Gowa dengan raja Sikka saat itu Ratu Mbako. "Kerjasama saat itu terutama di bidang ekonomi," katanya.

Saat itu pelaut dari Gowa memberikan berbagai macam barang perdagangan. Sementara raja Sikka memberi lahan untuk para pelaut dari Gowa. "Kerjasama itu berlangsung sangat lama bahkan hingga saat ini," katanya.

Kerjasama itu tidak hanya di bidang ekonomi tetapi berlanjut hingga kawin-mawin. Abdul Rasyid mengatakan raja Sikka saat itu Raja Thomas kawin dengan Mariam da Silva yang adalah keturunan dari Gowa. Hubungan antara penduduk asli Sikka dengan pendatang dari Gowa ini kemudian semakin akrab.

Di kampung Makassar, lanjut Abdul Rasyid belum dibangun masjid. "Waktu itu sholad masih dilakukan di rumah-rumah penduduk," katanya. Masjid pertama yang dibangun adalah Mesjid Al-Taqwa di Kampung Beru tahun 1926.

Mesjid ini dibangun setelah Kampung Makassar dipindahkan ke Kampung Beru karena Pemkab Sikka akan membangun dermaga di Kampung Makassar yakni Dermaga Sadang Bui saat ini. Nama Kampung Beru sebenarnya berasal dari kata bahasa Makassar Berua yang berarti baru (Kampung Baru).

Setelah dibangun Masjid Al-Taqwa tersebut, peradaban Islam kemudian berkembang pesat di Kampung Beru dan Maumere umumnya. Hal ini ditunjang dengan semakin ramainya perdagangan di Maumere yang sebagian besar dikuasai pedagang Islam dari Makassar.

Menurut Imam Masjid Al-Taqwa H. Zainudin Qodri, jumlah jemaah di Masjid tersebut lebih 1000 orang. "Jumlah KK-nya sekitar 300," kata Zainudin.
Ia juga membenarkan Masjid Al-Taqwa dibangun pada tahun 1926. "Awalnya ukurannya kecil, tetapi seiring dengan berkembangnya jumlah jemaah maka ukurannya sebesar ini," kata Zainudin yang saat itu bersama koran ini di teras masjid. Saat terjadi gempa tektonik 12 Desember 1992 Masjid Al-Taqwa juga hancur total. Masjid Al-Taqwa kemudian dibangun kembali pada tahun 1993.

Masjid Al-Taqwa merupakan salah satu bukti sejarah perkembangan Islam di Kabupaten Sikka yang dibawa pelaut dari Gowa Sulawesi Selatan. Selain dari Gowa, yang membawa peradaban Islam di Sikka adalah warga dari Bima NTB pada tahun 1885.

"Saat itu terjadi letusan Gunung Tambora yang menyebabkan sebagian warganya mengungsi hingga ke Maumere," kata Abdul Rasyid Wahab. Pusatnya adalah di pesisir Desa Watumilok Kecamatan Kewapante.

Senin, 17 Januari 2011

Jejak Islam di Pulau Solor



Saat ini, wilayah kepulauan Solor yang terdiri atas Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pantar, Alor dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, lebih dipengaruhi oleh kebudayaan Katolik. Tetapi siapa kira, kalau kawasan yang meliputi tiga Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, pernah mendapat pengaruh kuat dari beberapa kerajaan Islam di Maluku, Jawa dan Sulawesi sejak abad ke-15.

Seorang sosiolog dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Drs. Syarifuddin Gomang, MHons, dalam sebuah tulisannya, menghubungkan perkembangan di gugusan kepulauan itu dengan perkembangan salah satu kerajaan Islam di timur yakni Ternate. Tersebutlah, pengganti Sultan Baabullah yang membalas kematian ayahnya Sultan Hairun, yang dibunuh Portugis, dengan mengepung Portugis dalam benteng di Ternate dan mengambil alih benteng pada tahun 1574.

Dalam puncak kejayaan itulah, Sultan Baabullah mendapat pengakuan kedaulatan dari masyarakat di 72 pulau, termasuk Kepulauan Solor. Dari dokumen Portugis, Gomang mengungkapkan, Sultan Baabullah mengutus keponakannya bernama Kaichili Ulan ke Pulau Buru di Maluku, merekrut orang-orang dan mempersiapkan perahu untuk penyerangan ke Lohayong, sebuah basis pertahanan Portugis di Pulau Solor. Rencana serangan itu, atas permintaan bantuan dari Solor untuk menyerang orang Portugis di Benteng Lohayong.

Dalam pelayaran Kaichili Ulan ke Solor tersebut, ikut pula banyak bangsawan Ternate dan pengikut mereka yang kemudian menetap di beberapa pulau di NTT. Di antara mereka terkenal nama Sultan Syarif Sahar dan isterinya, Syarifah, yang menetap di Pulau Solor dan nantinya memimpin orang Solor bertempur melawan Portugis, setelah bersekutu dengan VOC atau kongsi dagang Belanda yang bersaing dengan Portugis.
Tokoh ini, kemudian ikut pindah ke Kupang di Pulau Timor, ketika VOC memindahkan pusat kedudukan dari Solor ke Kupang pada tahun 1657. Di Kupang, Sultan Syarif lebih dikenal dengan nama Atu Laganama dan menjadi penyebar agama Islam pertama di sekitar Batu Besi, Kupang. Diduga, kedatangan Atu Laganama ini menandai migrasi pertama orang Islam Solor ke Kupang, sehingga sampai kini di ibukota Provinsi NTT itu, masih ada Kelurahan Solor.

Sebagian dari pasukan Kaichili Ulan, tidak hanya menetap di Pulau Solor, tetapi juga pulau-pulau lain mulai dari Flores Timur sampai ke Kabupaten Alor. Karena itu, di Alor terdapat sebuah pulau bernama Pulau Ternate, sementara mereka yang menetap di Flores Timur antara lain dari klen Gogo, Likur dan Maloko. Bahkan, seorang ulama dari Ternate bernama Usman Barkat, menjadi tokoh penyebar agama Islam.
Di Blang Merang, Alor, pun sudah ada kampung Maluku pada abad ke-15, yang dihuni penduduk beragama Islam. Pada abad ke-17, gugusan kepulauan Solor dikabarkan resmi menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate yang berubah menjadi kerajaan Islam pada tahun 1683.

Kerajaan Islam
Penelitian lain yang dilakukan dosen Undana, Drs. Munandjar Widyatmika menyebut, pada tahun 1680 Lohayong di Solor merupakan sebuah kerajaan Islam yang memiliki supremasi terhadap kerajaan Islam lainnya. Saat itu, Lohayong di Solor diperintah oleh seorang ratu bernama, Nyai Chili Muda, yang pada tahun 1663 mengirim surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, memohon agak dikirimkan gading berukuran besar yang dijadikan bantal di kala ia wafat nanti.

Ia juga menyebut, Kedang sebuah wilayah di timur Pulau Lembata merupakan bagian dari Kerajaan Ternate, semetara di selatan Pulau Lembata juga terdapat sebuah kerajaan Islam yakni Lebala dengan raja terakhir Ibrahim Baha Manyeli.
Sementara Solor telah diduduki VOC sejak tahun 1646, tetapi Sultan Ternate baru resmi menyerahkan kepada Solor pada tahun 1683. Pada saat yang sama, di Kalikur Kedang, Lembata terdapay klen Honi Ero yang berasal dari Seram, sedangkan raja Adonara di Pulau Adonara, masih keturunan dari Ternate.

Bahkan, Gomang dan Widyatmika menyebut, tidak diketahui pasti, siapa pendiri kerajaan Lohayong Islam di Solor, yang jelas pada masa Kerajaan Majapahit memperluas wilayah kekuasaan dalam kerangka persatuan Nusantara sejak tahun 1357 dengan menaklukkan Dompo di Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah Laksamana Nala.
Kemudian Lohayong Solor yang strategis dijadikan salah satu pusat kedudukan pasukan Majapahit. Karena letaknya yang strategis, Lohayong di bawah pengaruh pedagang Islam dari Jawa dan Sulawesi, diduga pada waktu itu agama Islam telah berkembang di Lohayong Solor. Gomang dan Widyatmika menyebut tiga pilar kekuatan Islam pasca keruntuhan Majapahit, yakni Gresik, Gowa dan Ternate.

Gresik disebut-sebut telah mempunyai pengaruh di Solor, sebelum militer Portugis membangun benteng pada tahun 1566. Pelabuhan Solor dijadikan transit bagi perdagangan kayu cendana sebelum dijual ke Cina dan India.
Demikian pula Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, telah menjadi kerajaan Islam tahun 1605, di mana raja beserta perdana menteri pada tahun 1626 melakukan ekspedisi ke timur, termasuk ke Solor dan Timor.

Dari rangkaian pengaruh Islam dari Jawa, Sulawesi dan Ternate Maluku tersebut, hingga kini beberapa perkampungan di lima pantai di Solor, Adonara dan Lembata atau lebih dikenal dengan “Solor Watan Lema” dikenal sebagai perkampungan muslim hingga kini. Kelima kampung itu adalah, Lohayong dan Lamakera di Solor, Lamahala dan Terong di Adonara dan Lebala di Lembata.

Dari tempat-tempat itulah, Islam tersebar ke berbagai tempat terutama di pedalaman Solor, Adonara dan Lembata, namun umumnya di Kepulauan Solor, umat Islam umumnya menempati daerah pesisir mulai dari Pulau Solor, Adonara, Lembata, Pantar, Alor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dan menjadikan kawasan itu salah satu daerah muslim di Nusa Tenggara Timur (NTT)

Minggu, 16 Januari 2011

TENUN NUSA TENGGARA TIMUR

PULAU FLORES merupakan bagian dari kelompok pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, dan mendapat banyak pengaruh dari pulau-pulau sekitarnya. Pengaruh-pengaruh tersebut memperkaya budaya suku-suku di Flores yang jumlahnya mencapai hampir tiga puluh suku. Setiap suku mempunyai bahasa dan dialeknya sendiri. Di bagian barat pulau Flores tinggal orang Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung, dan Nage Keo, sedangkan di bagian timur berdiam orang Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka. Sebagian besar masyarakat Flores hidup dari bercocok tanam dan berternak kerbau dan kuda. Kedua jenis hewan tersebut dipergunakan sebagai alat pembayaran mas kawin. Dan pada umumnya kuda juga berfungsi sebagai alat transportasi.


Kain Tenun Ikat Flores
Seperti halnya di Sumba dan Timor, menenun dikerjakan oleh para wanita. Kepandaian menenun ini diwariskan secara turun-temurun, dan telah dipelajari sejak mereka masih kecil. Salah satu tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu kebiasaan memakan sirih dilakukan wanita Flores, khususnya penenun, di sepanjang hari saat bekerja. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan adalah selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki dan sarung untuk wanita. Selimut atau selendang juga digunakan sebagai penutup jenazah. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun ikat juga digunakan sebagai perlengkapan
upacara adat sebagai pakaian adat, pakaian upacara, dan mas kawin.
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa banyak perubahan dalam proses pembuatannya. Selain digunakannya pewarna sintetis, kini benang rayon juga digunakan sebagai bahan baku kain tenun ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat yang dicelup dengan pewarna alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari kapas, juga masih ada.
Tenun ikat Flores dibuat dengan bahan dasar benang dari kapas yang dipilin oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup wama biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna yang cerah dan menyolok. Kain tenun dari daerah Manggarai banyak menggunakan warna kuning keemasan, merah, dan hijau.
Pembuatan desain kain tenun ikat di Flores dilakukan dengan mengikat benang-benang lungsi. Pekerjaan ini dapat berlangsung selama berminggu- minggu, bahkan kadang-kadang sampai berbulan-bulan. Seringkah pencelupan dikerjakan sam-persatu untuk setiap bakal kain sarung, meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung. Ketika kerajaan-kerajaan kecil di Flores masih ada, sejumlah orang bekerja khusus sebagai pembuat kain-kain tenun untuk kebutuhan kalangan raja- raja di istana. Jika dahulu ada pembedaan pakaian adat berdasarkan status sosial (golongan bangsawan atau rakyat jelata), maka masa sekarang tidak lagi. Sekarang kain-kain tenun dibuat untuk dijual ke pasaran lalu dijual lagi kepada mereka yang membutuhkannya. Pesanan dengan kualitas khusus masih dilayani dengan harga khusus pula.
Beberapa daerah yang menghasilkan kain-kain tenun adalah Manggarai, Ngada, Nage-Keo, Ende, hingga sekitar Lio, Sikka, dan Lembata di bagian timur Flores.
Di daerah-daerah tersebut, seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya, benang yang diikat adalah benang lungsi.
Manggarai dan Ngada
Di daerah Manggarai ada teknik lain pembuatan ikat, yaitu menggunakan lidi-lidi pengungkit dalam proses penenunan untuk menghasilkan pakan tenun songket tambahan. Di daerah Ngada, Flores Tengah, juga terdapat kain tenun songket warna kuning emas sebagai pengganti songket benang emas. Kain-kain tenun songket Flores di atas latar tenunan benang kapas ini mempunyai banyak persamaan dengan kain-kain songket dari Sumbawa. Menurut tinjauan sejarah wilayah sebelah barat Flores dulu merupakan daerah kekuasaan kerajaan Bima-Sumbawa yang memiliki kain-kain tenun songket benang emas dan perak untuk kalangan raja-raja Bima. Hal ini membawa pengaruh yang cukup kuat di daerah sebelah barat Flores, sehingga mereka pun mempunyai tradisi membuat kain tenun songket walaupun tidak
menggunakan benang emas dan benang perak.
Selain kain songket, masyarakat Ngada juga membuat kain tenun ikar. Tenun ikat yang mereka buat menggunakan warna-warna gelap, antara lain dengan kombinasi warna biru dan cokelat, dengan garis-garis sederhana. Sedangkan suku Nage Keo menghasilkan tenunan yang menampilkan motif bintik-bintik kecil dari teknik ikat pembentuk motif floral. Jalur ikat ini dikombinasikan dengan jalur-jalur kecil lain berwarna putih, merah, dan biru polos.
Seperti halnya kain sarung, pada kain songket juga ada pembagian desain kain antara lain adalah yang disebut bagian kepala yang diletakkan di bagian tengah dan yang disebut badan yang diletakkan di belakang kain lainnya. Pembagian desain songket dari Manggarai dan Ngada ini juga membentuk bagian badan dan kepala, dengan motif yang berbeda di kedua bagian tersebut. Saat dikenakan, bagian kepala biasanya diletakkan di bagian depan dan bagian badan diletakkan di belakang. Di Flores, kain tenun biasanya dikenakan hingga setinggi dada. Dalam perkembangannya, mereka menggunakan kebaya yang pemakaiannya dimasukkan dalam sarung, Cara memakai kain sarung seperti ini hampir sama dengan cara wanita Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan, atau Kaili dan Donggala di Sulawesi Tengah.
Sikka
Pada mulanya kain adat Flores untuk wanita berbentuk sarung setinggi dada dan dilipat di bagian depan. Di bagian pinggang pemakai dikenakan ikat pinggang dari perak. Mereka tidak menggunakan kebaya atau blus. Namun kini ada variasi lain dari cara pemakaian kain sarung, di mana lipatan kain sarung diikat di salah satu bahu sehingga agak terangkat ke atas pada salah satu sisinya.
Cara pemakaian kain di Flores ada bermacam-macam. Lain daerah atau suku, bisa berbeda pula cara pemakaiannya. Perempuan suku Sikka di Maumere, Kabupaten Sikka, menggunakan kain sarung sebatas pinggang yang disebut utan, yang dipadukan dengan baju kebaya yang disebut labu, yang modelnya mirip kebaya Maluku. Utan dengan ragam hias yang diberi warna gelap atau hitam disebut utan welak. Paduan kain dan labu ini masih dirasa kurang bila tidak menggunakan selendang yang disebut dong; Penampilan kaum perempuan ini masih dilengkapi tusuk konde dart emas atau perak yang tinggi berbentuk bunga, yang disebut bunga u-e. Hiasan tusuk konde serupa ini dipakai juga dalam pakaian adat Ende.
vang disebut lensu sembur. Sebagai penutup kepala para laki-laki biasanya menggunakan destar. Destar mereka kadang-kadang justru terbuat dari bahan batik Jawa. Selain itu ada hal lain yang khas dalam pakaian adat Sikka. kain tenun warna hitam arau gelap hanya dipakai oleh mereka yang telah berumur, sedangkan kaum muda memakai kain tenun dengan warna terang dan menyolok.
Ende
Hasil tenunan di daerah Ende bergaya Eropa. Lokasinya yang terletak di pesisir selatan Flores, memungkinkan orang-orang Ende berhubungan dengan bangsa pendatang seperti orang Eropa. Tenun Ende lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah, dengan menggunakan ragam hias motif oia Eropa.
Salah saru ragam hias kain Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lain adalah hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain tenun Flores pada umumnya tidak hanya di kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat di bagian tengah, samping, kedua ujung, atau pinggir kain.
Lio
Salah satu daerah di Hores Timur yang cukup menonjol dalam pembuatan kain tenun ikatnya adalah daerah Lio. Ragam hias kain tenun ikat dari daerah ini diilhami oleh kain patola India berupa motifceplok seperti jelamprang pada kain batik. Selain motifceplok, kain dari Lio ini juga dihiasi dengan motif daun, dahan, dan ranting. Kain patola diperkenalkan oleh para pedagang dari Portugis, yang pada abad keenam belas mengadakan perdagangan dan pertukaran kain patola dengan rempah-rempah dari nusantara bagian timur, termasuk di Flores. Bangsa Portugis, dan bangsa-bangsa Eropa lain (Belanda dan Jerman) meninggalkan pengaruh yang begitu besar, terutama karena banyaknya misionaris yang menyebarluaskan agama Kristen Protestan dan Katholik. Hingga saat ini agama Kristen banyak penganutnya di Flores.
Kain tenun ikat dengan motif patola mempunyai nilai tinggi. Oleh karena itu, daerah-daerah tenun di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki motif- motif patola vang diperuntukkan khusus bagi kalangan raja-raja, pejabat, dan tokoh adat yang jumlahnya terbatas. Kain tenun Lio dengan ragam hias patola ini juga hanya dipergunakan di kalangan keluarga kepala adat atau pendiri kampung yang disebut musaloki. Bahkan kain ini dianggap sangat istimewa hingga ikut dikuburkan bersama jenazah seorang bangsawan atau raja. Selain itu kain patola dari Lio yang panjangnya sampai empat meter.
yang disebut katipa, digunakan sebagai penutup jenazah. Menurut P. Sateng Orinbao dalam bukunya Seni Tenun Suatu Segi Kebudayaan Orang Flores, kara katipa sendiri mempunyai arti yang sama dengan patola, karena berasal dari lafal penyebutan tipa tola.
Ciri khas motif tenun Lio yang lain adalah ukurannya kecil dengan bentuk geometris, manusia, biawak, dan lain-lain, yang disusun membentuk jalur-jalur kecil berwarna merah atau biru di atas dasar warna gelap.
Kain tenun Lio ini juga diberi hiasan tambahan atau aplikasi dengan manik-manik dan kulit kerang. Pakaian dengan hiasan khusus ini hanya dipergunakan dalam upacara-upacara adat tertentu. Di Pulau Sumba, kain sarung yang diberi hiasan manik-manik seperti itu hanya dipakai oleh wanita kalangan bangsawan saja.
Selain terkenal dengan tenunannya, Lio juga penghasil kerajinan tembikar berupa kebutuhan rumah tangga khususnya peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat. Ada suatu kesamaan ragam hias pada kain tenun ikat dan barang tembikar yaitu goresan garis-garis geometris seperti bentuk meander, kait, belah ketupat, tumpal, dan lainnya, yang sering terdapat pada ragam hias ikat pada kain tenun dan anyaman.
Lembata
Selain Lio, daerah di Flores bagian timur yang terkenal dengan kain tenun ikatnya adalah Lembata. Di daerah ini, khususnya daerah Lamalera menurut Ruth Barnes dalam tulisannya The Brideweakh Cloth of Lamalera Lembata, disebutkan bahwa hanya kain sarung untuk wanita yang memakai motif ikat yang disebut mofa. Kain sarung wanita itu sendiri disebut kewatek. Kain sarung untuk laki-laki tidak memakai motif ikat. (Kain sarung untuk wanita berfungsi sebagai pemberian dan pihak perempuan kepada pihak laki- laki dalam upacara perkawinan).
Ada dua jenis tenunan kain sarung ikat Lembata yaitu kewatek nai rua dan kewatek nai teh. Kewatek nai rua adalah kain sarung yang tenunannya terdiri atas dua bagian kain yang digabungkan. Kewatek nai telo adalah kain yang paling tinggi nilainya. Kain ini terdiri atas tiga bagian yang disambungkan menjadi satu sarung.