Senin, 17 Januari 2011

Jejak Islam di Pulau Solor



Saat ini, wilayah kepulauan Solor yang terdiri atas Pulau Solor, Pulau Adonara, Pulau Lembata, Pantar, Alor dan beberapa pulau kecil di sekitarnya, lebih dipengaruhi oleh kebudayaan Katolik. Tetapi siapa kira, kalau kawasan yang meliputi tiga Kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) itu, pernah mendapat pengaruh kuat dari beberapa kerajaan Islam di Maluku, Jawa dan Sulawesi sejak abad ke-15.

Seorang sosiolog dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Drs. Syarifuddin Gomang, MHons, dalam sebuah tulisannya, menghubungkan perkembangan di gugusan kepulauan itu dengan perkembangan salah satu kerajaan Islam di timur yakni Ternate. Tersebutlah, pengganti Sultan Baabullah yang membalas kematian ayahnya Sultan Hairun, yang dibunuh Portugis, dengan mengepung Portugis dalam benteng di Ternate dan mengambil alih benteng pada tahun 1574.

Dalam puncak kejayaan itulah, Sultan Baabullah mendapat pengakuan kedaulatan dari masyarakat di 72 pulau, termasuk Kepulauan Solor. Dari dokumen Portugis, Gomang mengungkapkan, Sultan Baabullah mengutus keponakannya bernama Kaichili Ulan ke Pulau Buru di Maluku, merekrut orang-orang dan mempersiapkan perahu untuk penyerangan ke Lohayong, sebuah basis pertahanan Portugis di Pulau Solor. Rencana serangan itu, atas permintaan bantuan dari Solor untuk menyerang orang Portugis di Benteng Lohayong.

Dalam pelayaran Kaichili Ulan ke Solor tersebut, ikut pula banyak bangsawan Ternate dan pengikut mereka yang kemudian menetap di beberapa pulau di NTT. Di antara mereka terkenal nama Sultan Syarif Sahar dan isterinya, Syarifah, yang menetap di Pulau Solor dan nantinya memimpin orang Solor bertempur melawan Portugis, setelah bersekutu dengan VOC atau kongsi dagang Belanda yang bersaing dengan Portugis.
Tokoh ini, kemudian ikut pindah ke Kupang di Pulau Timor, ketika VOC memindahkan pusat kedudukan dari Solor ke Kupang pada tahun 1657. Di Kupang, Sultan Syarif lebih dikenal dengan nama Atu Laganama dan menjadi penyebar agama Islam pertama di sekitar Batu Besi, Kupang. Diduga, kedatangan Atu Laganama ini menandai migrasi pertama orang Islam Solor ke Kupang, sehingga sampai kini di ibukota Provinsi NTT itu, masih ada Kelurahan Solor.

Sebagian dari pasukan Kaichili Ulan, tidak hanya menetap di Pulau Solor, tetapi juga pulau-pulau lain mulai dari Flores Timur sampai ke Kabupaten Alor. Karena itu, di Alor terdapat sebuah pulau bernama Pulau Ternate, sementara mereka yang menetap di Flores Timur antara lain dari klen Gogo, Likur dan Maloko. Bahkan, seorang ulama dari Ternate bernama Usman Barkat, menjadi tokoh penyebar agama Islam.
Di Blang Merang, Alor, pun sudah ada kampung Maluku pada abad ke-15, yang dihuni penduduk beragama Islam. Pada abad ke-17, gugusan kepulauan Solor dikabarkan resmi menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Ternate yang berubah menjadi kerajaan Islam pada tahun 1683.

Kerajaan Islam
Penelitian lain yang dilakukan dosen Undana, Drs. Munandjar Widyatmika menyebut, pada tahun 1680 Lohayong di Solor merupakan sebuah kerajaan Islam yang memiliki supremasi terhadap kerajaan Islam lainnya. Saat itu, Lohayong di Solor diperintah oleh seorang ratu bernama, Nyai Chili Muda, yang pada tahun 1663 mengirim surat kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia, memohon agak dikirimkan gading berukuran besar yang dijadikan bantal di kala ia wafat nanti.

Ia juga menyebut, Kedang sebuah wilayah di timur Pulau Lembata merupakan bagian dari Kerajaan Ternate, semetara di selatan Pulau Lembata juga terdapat sebuah kerajaan Islam yakni Lebala dengan raja terakhir Ibrahim Baha Manyeli.
Sementara Solor telah diduduki VOC sejak tahun 1646, tetapi Sultan Ternate baru resmi menyerahkan kepada Solor pada tahun 1683. Pada saat yang sama, di Kalikur Kedang, Lembata terdapay klen Honi Ero yang berasal dari Seram, sedangkan raja Adonara di Pulau Adonara, masih keturunan dari Ternate.

Bahkan, Gomang dan Widyatmika menyebut, tidak diketahui pasti, siapa pendiri kerajaan Lohayong Islam di Solor, yang jelas pada masa Kerajaan Majapahit memperluas wilayah kekuasaan dalam kerangka persatuan Nusantara sejak tahun 1357 dengan menaklukkan Dompo di Nusa Tenggara Barat (NTB) di bawah Laksamana Nala.
Kemudian Lohayong Solor yang strategis dijadikan salah satu pusat kedudukan pasukan Majapahit. Karena letaknya yang strategis, Lohayong di bawah pengaruh pedagang Islam dari Jawa dan Sulawesi, diduga pada waktu itu agama Islam telah berkembang di Lohayong Solor. Gomang dan Widyatmika menyebut tiga pilar kekuatan Islam pasca keruntuhan Majapahit, yakni Gresik, Gowa dan Ternate.

Gresik disebut-sebut telah mempunyai pengaruh di Solor, sebelum militer Portugis membangun benteng pada tahun 1566. Pelabuhan Solor dijadikan transit bagi perdagangan kayu cendana sebelum dijual ke Cina dan India.
Demikian pula Kerajaan Gowa di Sulawesi Selatan, telah menjadi kerajaan Islam tahun 1605, di mana raja beserta perdana menteri pada tahun 1626 melakukan ekspedisi ke timur, termasuk ke Solor dan Timor.

Dari rangkaian pengaruh Islam dari Jawa, Sulawesi dan Ternate Maluku tersebut, hingga kini beberapa perkampungan di lima pantai di Solor, Adonara dan Lembata atau lebih dikenal dengan “Solor Watan Lema” dikenal sebagai perkampungan muslim hingga kini. Kelima kampung itu adalah, Lohayong dan Lamakera di Solor, Lamahala dan Terong di Adonara dan Lebala di Lembata.

Dari tempat-tempat itulah, Islam tersebar ke berbagai tempat terutama di pedalaman Solor, Adonara dan Lembata, namun umumnya di Kepulauan Solor, umat Islam umumnya menempati daerah pesisir mulai dari Pulau Solor, Adonara, Lembata, Pantar, Alor dan pulau-pulau kecil di sekitarnya dan menjadikan kawasan itu salah satu daerah muslim di Nusa Tenggara Timur (NTT)

Minggu, 16 Januari 2011

TENUN NUSA TENGGARA TIMUR

PULAU FLORES merupakan bagian dari kelompok pulau-pulau Nusa Tenggara Timur, dan mendapat banyak pengaruh dari pulau-pulau sekitarnya. Pengaruh-pengaruh tersebut memperkaya budaya suku-suku di Flores yang jumlahnya mencapai hampir tiga puluh suku. Setiap suku mempunyai bahasa dan dialeknya sendiri. Di bagian barat pulau Flores tinggal orang Manggarai, di bagian tengah tinggal orang Ngada, Riung, dan Nage Keo, sedangkan di bagian timur berdiam orang Ende, Lio, Sikka, dan Larantuka. Sebagian besar masyarakat Flores hidup dari bercocok tanam dan berternak kerbau dan kuda. Kedua jenis hewan tersebut dipergunakan sebagai alat pembayaran mas kawin. Dan pada umumnya kuda juga berfungsi sebagai alat transportasi.


Kain Tenun Ikat Flores
Seperti halnya di Sumba dan Timor, menenun dikerjakan oleh para wanita. Kepandaian menenun ini diwariskan secara turun-temurun, dan telah dipelajari sejak mereka masih kecil. Salah satu tradisi para wanita penenun yang menarik yaitu kebiasaan memakan sirih dilakukan wanita Flores, khususnya penenun, di sepanjang hari saat bekerja. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan adalah selendang lebar yang berfungsi sebagai selimut bagi laki-laki dan sarung untuk wanita. Selimut atau selendang juga digunakan sebagai penutup jenazah. Selain sebagai selimut dan pakaian yang dijual bebas di pasaran, kain tenun ikat juga digunakan sebagai perlengkapan
upacara adat sebagai pakaian adat, pakaian upacara, dan mas kawin.
Beragamnya fungsi dan banyaknya permintaan kain tenun ikat, membawa banyak perubahan dalam proses pembuatannya. Selain digunakannya pewarna sintetis, kini benang rayon juga digunakan sebagai bahan baku kain tenun ikat. Meskipun demikian, kain tenun ikat yang dicelup dengan pewarna alami dan menggunakan bahan baku tradisional yaitu benang dari kapas, juga masih ada.
Tenun ikat Flores dibuat dengan bahan dasar benang dari kapas yang dipilin oleh penenunnya sendiri. Benangnya kasar dan dicelup wama biru indigo. Kain dihiasi dengan ragam hias bentuk geometris aneka warna yang cerah dan menyolok. Kain tenun dari daerah Manggarai banyak menggunakan warna kuning keemasan, merah, dan hijau.
Pembuatan desain kain tenun ikat di Flores dilakukan dengan mengikat benang-benang lungsi. Pekerjaan ini dapat berlangsung selama berminggu- minggu, bahkan kadang-kadang sampai berbulan-bulan. Seringkah pencelupan dikerjakan sam-persatu untuk setiap bakal kain sarung, meskipun kadang-kadang juga dilakukan sekaligus untuk beberapa buah kain sarung. Ketika kerajaan-kerajaan kecil di Flores masih ada, sejumlah orang bekerja khusus sebagai pembuat kain-kain tenun untuk kebutuhan kalangan raja- raja di istana. Jika dahulu ada pembedaan pakaian adat berdasarkan status sosial (golongan bangsawan atau rakyat jelata), maka masa sekarang tidak lagi. Sekarang kain-kain tenun dibuat untuk dijual ke pasaran lalu dijual lagi kepada mereka yang membutuhkannya. Pesanan dengan kualitas khusus masih dilayani dengan harga khusus pula.
Beberapa daerah yang menghasilkan kain-kain tenun adalah Manggarai, Ngada, Nage-Keo, Ende, hingga sekitar Lio, Sikka, dan Lembata di bagian timur Flores.
Di daerah-daerah tersebut, seperti di wilayah Nusa Tenggara Timur lainnya, benang yang diikat adalah benang lungsi.
Manggarai dan Ngada
Di daerah Manggarai ada teknik lain pembuatan ikat, yaitu menggunakan lidi-lidi pengungkit dalam proses penenunan untuk menghasilkan pakan tenun songket tambahan. Di daerah Ngada, Flores Tengah, juga terdapat kain tenun songket warna kuning emas sebagai pengganti songket benang emas. Kain-kain tenun songket Flores di atas latar tenunan benang kapas ini mempunyai banyak persamaan dengan kain-kain songket dari Sumbawa. Menurut tinjauan sejarah wilayah sebelah barat Flores dulu merupakan daerah kekuasaan kerajaan Bima-Sumbawa yang memiliki kain-kain tenun songket benang emas dan perak untuk kalangan raja-raja Bima. Hal ini membawa pengaruh yang cukup kuat di daerah sebelah barat Flores, sehingga mereka pun mempunyai tradisi membuat kain tenun songket walaupun tidak
menggunakan benang emas dan benang perak.
Selain kain songket, masyarakat Ngada juga membuat kain tenun ikar. Tenun ikat yang mereka buat menggunakan warna-warna gelap, antara lain dengan kombinasi warna biru dan cokelat, dengan garis-garis sederhana. Sedangkan suku Nage Keo menghasilkan tenunan yang menampilkan motif bintik-bintik kecil dari teknik ikat pembentuk motif floral. Jalur ikat ini dikombinasikan dengan jalur-jalur kecil lain berwarna putih, merah, dan biru polos.
Seperti halnya kain sarung, pada kain songket juga ada pembagian desain kain antara lain adalah yang disebut bagian kepala yang diletakkan di bagian tengah dan yang disebut badan yang diletakkan di belakang kain lainnya. Pembagian desain songket dari Manggarai dan Ngada ini juga membentuk bagian badan dan kepala, dengan motif yang berbeda di kedua bagian tersebut. Saat dikenakan, bagian kepala biasanya diletakkan di bagian depan dan bagian badan diletakkan di belakang. Di Flores, kain tenun biasanya dikenakan hingga setinggi dada. Dalam perkembangannya, mereka menggunakan kebaya yang pemakaiannya dimasukkan dalam sarung, Cara memakai kain sarung seperti ini hampir sama dengan cara wanita Bugis dan Makasar di Sulawesi Selatan, atau Kaili dan Donggala di Sulawesi Tengah.
Sikka
Pada mulanya kain adat Flores untuk wanita berbentuk sarung setinggi dada dan dilipat di bagian depan. Di bagian pinggang pemakai dikenakan ikat pinggang dari perak. Mereka tidak menggunakan kebaya atau blus. Namun kini ada variasi lain dari cara pemakaian kain sarung, di mana lipatan kain sarung diikat di salah satu bahu sehingga agak terangkat ke atas pada salah satu sisinya.
Cara pemakaian kain di Flores ada bermacam-macam. Lain daerah atau suku, bisa berbeda pula cara pemakaiannya. Perempuan suku Sikka di Maumere, Kabupaten Sikka, menggunakan kain sarung sebatas pinggang yang disebut utan, yang dipadukan dengan baju kebaya yang disebut labu, yang modelnya mirip kebaya Maluku. Utan dengan ragam hias yang diberi warna gelap atau hitam disebut utan welak. Paduan kain dan labu ini masih dirasa kurang bila tidak menggunakan selendang yang disebut dong; Penampilan kaum perempuan ini masih dilengkapi tusuk konde dart emas atau perak yang tinggi berbentuk bunga, yang disebut bunga u-e. Hiasan tusuk konde serupa ini dipakai juga dalam pakaian adat Ende.
vang disebut lensu sembur. Sebagai penutup kepala para laki-laki biasanya menggunakan destar. Destar mereka kadang-kadang justru terbuat dari bahan batik Jawa. Selain itu ada hal lain yang khas dalam pakaian adat Sikka. kain tenun warna hitam arau gelap hanya dipakai oleh mereka yang telah berumur, sedangkan kaum muda memakai kain tenun dengan warna terang dan menyolok.
Ende
Hasil tenunan di daerah Ende bergaya Eropa. Lokasinya yang terletak di pesisir selatan Flores, memungkinkan orang-orang Ende berhubungan dengan bangsa pendatang seperti orang Eropa. Tenun Ende lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah, dengan menggunakan ragam hias motif oia Eropa.
Salah saru ragam hias kain Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lain adalah hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain tenun Flores pada umumnya tidak hanya di kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat di bagian tengah, samping, kedua ujung, atau pinggir kain.
Lio
Salah satu daerah di Hores Timur yang cukup menonjol dalam pembuatan kain tenun ikatnya adalah daerah Lio. Ragam hias kain tenun ikat dari daerah ini diilhami oleh kain patola India berupa motifceplok seperti jelamprang pada kain batik. Selain motifceplok, kain dari Lio ini juga dihiasi dengan motif daun, dahan, dan ranting. Kain patola diperkenalkan oleh para pedagang dari Portugis, yang pada abad keenam belas mengadakan perdagangan dan pertukaran kain patola dengan rempah-rempah dari nusantara bagian timur, termasuk di Flores. Bangsa Portugis, dan bangsa-bangsa Eropa lain (Belanda dan Jerman) meninggalkan pengaruh yang begitu besar, terutama karena banyaknya misionaris yang menyebarluaskan agama Kristen Protestan dan Katholik. Hingga saat ini agama Kristen banyak penganutnya di Flores.
Kain tenun ikat dengan motif patola mempunyai nilai tinggi. Oleh karena itu, daerah-daerah tenun di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki motif- motif patola vang diperuntukkan khusus bagi kalangan raja-raja, pejabat, dan tokoh adat yang jumlahnya terbatas. Kain tenun Lio dengan ragam hias patola ini juga hanya dipergunakan di kalangan keluarga kepala adat atau pendiri kampung yang disebut musaloki. Bahkan kain ini dianggap sangat istimewa hingga ikut dikuburkan bersama jenazah seorang bangsawan atau raja. Selain itu kain patola dari Lio yang panjangnya sampai empat meter.
yang disebut katipa, digunakan sebagai penutup jenazah. Menurut P. Sateng Orinbao dalam bukunya Seni Tenun Suatu Segi Kebudayaan Orang Flores, kara katipa sendiri mempunyai arti yang sama dengan patola, karena berasal dari lafal penyebutan tipa tola.
Ciri khas motif tenun Lio yang lain adalah ukurannya kecil dengan bentuk geometris, manusia, biawak, dan lain-lain, yang disusun membentuk jalur-jalur kecil berwarna merah atau biru di atas dasar warna gelap.
Kain tenun Lio ini juga diberi hiasan tambahan atau aplikasi dengan manik-manik dan kulit kerang. Pakaian dengan hiasan khusus ini hanya dipergunakan dalam upacara-upacara adat tertentu. Di Pulau Sumba, kain sarung yang diberi hiasan manik-manik seperti itu hanya dipakai oleh wanita kalangan bangsawan saja.
Selain terkenal dengan tenunannya, Lio juga penghasil kerajinan tembikar berupa kebutuhan rumah tangga khususnya peralatan dapur yang terbuat dari tanah liat. Ada suatu kesamaan ragam hias pada kain tenun ikat dan barang tembikar yaitu goresan garis-garis geometris seperti bentuk meander, kait, belah ketupat, tumpal, dan lainnya, yang sering terdapat pada ragam hias ikat pada kain tenun dan anyaman.
Lembata
Selain Lio, daerah di Flores bagian timur yang terkenal dengan kain tenun ikatnya adalah Lembata. Di daerah ini, khususnya daerah Lamalera menurut Ruth Barnes dalam tulisannya The Brideweakh Cloth of Lamalera Lembata, disebutkan bahwa hanya kain sarung untuk wanita yang memakai motif ikat yang disebut mofa. Kain sarung wanita itu sendiri disebut kewatek. Kain sarung untuk laki-laki tidak memakai motif ikat. (Kain sarung untuk wanita berfungsi sebagai pemberian dan pihak perempuan kepada pihak laki- laki dalam upacara perkawinan).
Ada dua jenis tenunan kain sarung ikat Lembata yaitu kewatek nai rua dan kewatek nai teh. Kewatek nai rua adalah kain sarung yang tenunannya terdiri atas dua bagian kain yang digabungkan. Kewatek nai telo adalah kain yang paling tinggi nilainya. Kain ini terdiri atas tiga bagian yang disambungkan menjadi satu sarung.